“Pesta Rakyat atau Pesta Putri??  : “Kritik Kabid PTKP HMI terhadap Simbolisme Elitis di Tengah Derita Rakyat”

Liputan Rakyat Indonesia // Garut – Edisi 18/7/2025 – Perhelatan Akbar  Resepsi pernikahan Wakil Bupati Garut dr. Putri Karlina yang menyita perhatian Publik dari rasa antusiasme hingga   kritisisme dari berbagai elemen Masyarakat  salah satunya  datang dari Kabid PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Garut  Respi Abdul Malik yang  menyampaikan kritik tajam terhadap penyelenggaraan acara bertajuk “Pesta Rakyat” yang digelar dalam rangka pernikahan Putri Karlina, Wakil Bupati Garut. Alih-alih mencerminkan kepedulian terhadap rakyat, acara ini justru menciptakan kesan glamor yang kontras dengan kondisi nyata masyarakat Garut yang sedang bergulat dengan berbagai krisis sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Lebih lanjut Respi menyampaikan nalar kritiknya yaitu

Retorika “Pesta Rakyat” yang Menyesatkan

Kami mempertanyakan penggunaan istilah “pesta rakyat” dalam acara yang sejatinya merupakan perayaan pribadi. Di tengah meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran, krisis moral anak muda, hingga bencana lingkungan yang melanda beberapa kecamatan, kegiatan ini lebih terlihat sebagai pesta Putri Karlina, bukan pesta untuk rakyat. Rakyat hanya dijadikan latar dan pelengkap demi pencitraan.

Jika betul ingin berpihak kepada rakyat, maka yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan konkret, pengentasan pengangguran, akses pendidikan yang merata, penanganan bencana yang cepat, dan dialog terbuka dengan pelaku UMKM dan pedagang kecil, bukan panggung megah dan hiburan sesaat.

Simbolisme Elitis dan Perayaan di Tengah Luka Sosial

Acara besar-besaran seperti ini mengesankan adanya elitisasi dalam kekuasaan, di mana pejabat publik menggunakan fasilitas, kewenangan, bahkan mungkin anggaran dan infrastruktur negara, untuk kepentingan pribadi yang dibungkus sebagai kepentingan publik. Ini bukan hanya soal pesta ini soal sensitivitas sosial dan etika kekuasaan.

Kami juga mendapat laporan dari masyarakat mengenai tidak adanya dialog dan relokasi yang adil bagi para pedagang kaki lima yang terdampak oleh pengamanan dan penataan area selama pesta. Keadilan sosial tidak boleh dikorbankan demi kenyamanan satu pihak, apalagi demi euforia pejabat.

Tanggung Jawab Sosial Pejabat Publik

HMI mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah. Seorang pejabat publik, terlebih seorang wakil kepala daerah, wajib menempatkan diri dalam barisan rakyat bukan berdiri di panggung merayakan kebahagiaan pribadi saat rakyat masih berkubang dalam penderitaan. “Empati sosial” bukan jargon, tapi tanggung jawab moral dan politik.

Kemudian melihat realita tersebut  Respi  sebagai  Kabid PTKP HMI menuntut:

  1. Evaluasi Etika Kekuasaan: Kami mendesak adanya klarifikasi dari pihak penyelenggara soal pembiayaan dan konsep acara yang diklaim sebagai “pesta rakyat”.
  2. Transparansi Anggaran dan Aset Publik: Apakah fasilitas atau personel negara digunakan dalam acara tersebut?
  3. Penghentian Politisasi Perayaan Pribadi: Jangan camouflase pesta pribadi dengan narasi pro-rakyat.
  4. Kebijakan Publik yang Nyata: Kami ingin melihat realisasi program yang menyentuh akar persoalan rakyat, bukan hanya narasi-narasi selebratif.

Pada dasarnya kami  tidak anti terhadap kebahagiaan pejabat. Namun, kebahagiaan pribadi seharusnya tidak dirayakan dengan simbolisme publik yang mengabaikan luka sosial ujar Respi dengan di akhiri kata kata satir “GARUT MASIH BERDUKA, JANGAN TERTAWA DI ATAS PENDERITAANNYA”. (Diens)