Liputan Harian Indonesia// Garut – Tradisi praktek bisnis dagang Seragam dan peralatan sekolah sekolah menjadi hal yang lumrah di Kalangan Sekolah . Narasi Dagang di bungkus dengan atas nama “Standarisasi Sekolah” . Padahal ini adalah Praktik haram yang di larang oleh peraturan Perundangan undangan dan membebani para orang tua ditengah himpitan Ekonomi yang Sulit. Fenomena Akut ini mendapat sorotan Tajam dari Ketua Umum DPP LSM GAPERMAS Asep Mulyana SPd saat ditemui di Sekretariat nya di JL. Pataruman Bojong Kaliki Tarogong Kidul Garut Kamis (24/7/2025)
Praktik yang dibungkus dalam narasi “standar sekolah” ini, menurut Ketua Generasi Pemberdayaan Masyarakat (GAPERMAS), Asep Mulyana, S.Ag., bukan hanya bentuk pelanggaran administrasi, tapi merupakan kejahatan moral, sosial, dan hukum yang merugikan jutaan keluarga miskin di Indonesia.
“Ini bukan sekadar jual-beli. Ini pemalakan yang sudah terstruktur, sistemik, dan masif di dunia pendidikan kita,” tegas Asep dalam konferensi pers di ruang kerjanya, Kamis (24/07/2025).
Modus Terorganisir: Seragam Resmi, Harga Mencekik
Dalam investigasi yang dilakukan GAPERMAS di sejumlah kecamatan di Garut, ditemukan pola berulang yang mengarah pada dugaan monopoli. Sekolah-sekolah – baik negeri maupun swasta menengah – mewajibkan murid baru membeli seragam dari pihak yang mereka tunjuk. Harga seragam berkisar antara Rp350.000 hingga Rp700.000, bahkan ada yang mencapai Rp1 juta untuk satu paket lengkap.
Yang menjadi sorotan, orang tua tidak diberi alternatif. Bahkan ketika mereka ingin membeli seragam sendiri dengan spesifikasi serupa, pihak sekolah menolak atau melarang penggunaannya.
“Ibu-ibu di pelosok harus menggadaikan barang atau ngutang ke tetangga hanya demi beli seragam sekolah. Padahal di pasar, harganya bisa 50 persen lebih murah. Di mana hati nurani sekolah?” ucap seorang warga Cihurip yang diwawancarai tim GAPERMAS.
Toko Rekanan: Boneka Penyalur Kebijakan Sekolah
GAPERMAS mencatat bahwa sebagian besar sekolah kini tidak menjual seragam secara langsung, melainkan menunjuk toko rekanan. Namun, toko-toko tersebut hanya menjadi perpanjangan tangan, karena semua spesifikasi seragam – mulai dari warna, motif, logo, hingga waktu pembelian – tetap diatur oleh pihak sekolah.
“Ini adalah skema monopoli yang terencana. Orang tua tidak punya kebebasan memilih. Kalau bukan kartel lokal, lalu apa namanya?” tanya Asep retoris.
Hukum Dilanggar Terang-Terangan
Ironisnya, praktik ini sebenarnya telah dilarang secara hukum. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 198, serta Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022, jelas disebutkan bahwa pihak sekolah dan komite tidak diperkenankan menjual seragam atau mengarahkan pembelian ke pihak tertentu.
Namun kenyataannya, hingga saat ini belum pernah ada kepala sekolah atau komite yang dijatuhi sanksi serius, apalagi dijatuhi pidana.
“Aturannya jelas. Tapi tak ada penegakan. Ini yang membuat oknum merasa kebal hukum. Aparat seolah buta, tuli, dan bisu terhadap pelanggaran di dunia pendidikan,” sindir Asep tajam.
Dampak Psikologis: Anak Jadi Korban Sistem
Tak berhenti di soal ekonomi, GAPERMAS juga menyoroti dampak sosial dan psikologis terhadap anak. Murid-murid dari keluarga kurang mampu kerap dikucilkan karena belum membeli seragam “resmi”. Bahkan, terdapat kasus anak tidak diizinkan mengikuti upacara, pelajaran olahraga, hingga kegiatan ekstrakurikuler karena beda seragam.
“Kita menciptakan luka batin bagi generasi penerus bangsa. Seragam menjadi senjata diskriminasi dan penghinaan kelas sosial di lingkungan sekolah,” tegas Asep.
Komite Sekolah Dipertanyakan: Pelindung Orang Tua atau Mitra Bisnis?
Sorotan tajam juga ditujukan kepada komite sekolah. Seharusnya menjadi jembatan aspirasi orang tua, nyatanya dalam banyak kasus komite justru menjadi pihak yang mendukung atau bahkan terlibat dalam kebijakan penjualan seragam.
“Kami menemukan indikasi bahwa beberapa komite menerima fee atau keuntungan dari penjualan seragam. Jika ini benar, maka ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi indikasi praktik korupsi,” ungkap Asep.
Tuntutan GAPERMAS: Usut, Hentikan, dan Sanksi Tegas!
GAPERMAS menuntut agar Inspektorat Daerah, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, hingga Ombudsman RI segera turun tangan melakukan investigasi. Jika ditemukan aliran dana mencurigakan, mereka juga meminta keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kami siap buka data. Jika penegak hukum mau serius, kami akan bantu bongkar semuanya. Jangan lindungi mafia pendidikan hanya karena statusnya sebagai ASN,” ujarnya.
Langkah Nyata: Posko Pengaduan dan Class Action
Sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap praktik ini, GAPERMAS mengumumkan pembukaan Posko Pengaduan Seragam Sekolah di 15 kecamatan di wilayah Garut. Masyarakat dapat melaporkan dugaan pemaksaan, membawa bukti pembayaran, kwitansi, serta testimoni.
“Ini langkah awal. Jika kasus terus terjadi, kami akan gugat sekolah yang terlibat melalui class action. Masyarakat berhak mendapatkan pendidikan tanpa pemerasan,” ancam Asep.
Ultimatum Terbuka untuk Sekolah dan Dinas Terkait
Di akhir pernyataannya, Asep menyampaikan ultimatum kepada para kepala sekolah dan pejabat Dinas Pendidikan:
“Segera hentikan praktik dagang berseragam ini. Jika tidak, bersiaplah berhadapan dengan rakyat. Sekolah adalah tempat mendidik, bukan tempat menguras dompet rakyat. Rakyat sudah muak!” Ujar Asep.